Dalam
pemikiran masyarakat kita, apabila semakin tinggi pendidikannya maka semakin
hebatlah orang tersebut dalam mencari pekerjaan. Sehingga dalam pendidikan
tidak banyak yang serius. Pelajaran hanya sarana mencari nilai, bukan untuk
memahami apa yang dipelajari (Akademisi). Apalagi untuk mengembangkan ilmu
pengetahuan yang dipelajari. Tujuan akhir dari belajar mereka adalah ijazah.
Ijazah nantinya untuk digunakan mencari kerja.
Bahkan
banyak juga masyarakat kita mengikuti Pendidikan Tinggi hanya untuk karir
pendidikan. Karena ekonomi sudah mencukupi, maka masuklah dia ke Perguruan
Tinggi. Mereka membanggakan gelar dan merasa sudah hebat saat mendapatkan gelar
tersebut. Timbul kesombongan dan merasa dirinya lebih dari orang-orang,
meremehkan. Bicara besar dan keras tapi kosong ilmu pengetahuan. Kadang ada
yang ingin menjadi pemimpin, yang nantinya berkorupsi.
Kemudian
ada juga kelompok yang menjadikan pendidikan untuk sarana naik golongan PNS
atau untuk menjadi PNS karena sudah lama honorer. Begitu juga ada yang sudah
bekerja disuatu perusahaan kembali masuk Perguruan Tinggi agar dia bisa naik
pangkat. Atau dipilih orang menjadi pengganti atau penerus pada suatu jabatan
sebab dirinya sudah Strata 2 (S2). Kalau di Kampus dia bisa menjadi dekan
setidaknya, dengan masuk strata tiga.
Begitulah
sedikit gambaran dunia kalangan Akademisi kita. Tidak banyak bahkan mungkin
tidak ada yang benar-benar belajar. Apalagi untuk mengembangkan suatu bidang
disiplin ilmu. Atau sekurang-kurangnya mengembangkan suatu penelitian dari
hasil pemikirannya. Contoh, seandainya skripsi strata satunya tentang suatu
Arkeologi Daerahnya lalu dia masuk Strata Dua untuk meneruskan penelitian
skripsinya tersebut lebih mendalam dengan tesisnya.Tidak banyak yang demikian,
hampir semua untuk tujuan-tujuan materi
dan gaya.
Kebalikan
dari hal tersebut, misalnya seorang sarjanah pulang ke desa dan bertani atau
beternak. Maka buruklah dalam pandangan masyarakat kita. Karena menganggap
pekerjaan adalah pekerjaan rendahan dan kotor. Lalu mereka berkata, untuk apa
kuliah atau sekolah kalau masih bertani. Karena masyarakat kita berpikir
bertani dan beternak tidak perlu pendidikan dan bisa dikerjakan oleh orang
bodoh yang buta hurup.
Kalau
kita bandingkan pertanian orang tidak berpendidikan. Lihat saja mereka bertanam
hanya sekedar hidup apa yang ditanam. Kalau berternak sapi pastilah sapinya
berkeliaran dijalanan (melanggar hukum). Hasil pertanian-peternakan yang
sedikit dan dibeli oleh tengkulak lalu harganya dimainkan mafia pertanian.
Sehingga petani kita yang bodoh selalu menjadi miskin.
Mereka
tidak pandai berorganisasi, pemikirannya pendek, mudah ditipu, dan memakai
cara-cara tradisional. Selain itu, orang kurang pendidikan bersifat kolot,
susah diatur tidak disiplin. Sehingga inisiatif usaha yang lebih baik tidak
ada. Kemudian adanya program pemerintah selalu gagal. Lihat saja masyarakat
kita lebih dalam, tidak ada perkembangan dunia pertanian kita. Demikianlah
hasil pemikiran masyarakat kita kalau petani tidak perlu pendidikan.
Pola
pikir masyarakat kita masih sangat rendah sekali. Bukan hanya masyarakat
pedesaan, termasuk kalangan orang yang masuk Perguruan Tinggi dan perkotaan.
Pandangan hidup masyarakat kita dibutakan oleh gaji perbulan dari perusaan atau
negara. Lalu dibalut gaya baju kemeja disertai dasi. Kalau sudah ada gaji
(honor) dan berbaju kemeja disertai dasi demikian, maka sukseslah dan terhormat
orang itu. Bergunalah juga sekolah atau pendidikan orang tersebut.
Apabila
honor mereka dibandingkan dengan pedagang gorengan di pinggir jalan, kalah
jauh. Namun pedagang gorengan dianggap rendah hanya karena berkeringat dan
bekerja tidak di dalam gedung. Ada juga masyarakat berkata, kalah tempat dan
kalah gaya. Namun pendapatan sama atau lebih banyak. Apabila dia seorang
sarjanah maka dia akan dicemooh kalau menjadi penjual gorengan.
Pertanyaan
sekarang, dimana letak pentingnya pendidikan untuk manusia. Bagaimana kita
menilai hasil pendidikan pada seseorang dan pada masyarakat secara umum. Kita
mulai dari Sekolah Dasar.
Anda
yang dulu tidak mengerti berhitung dan membaca. Setelah selesai sekolah dasar
anda dapat membaca dan menulis. Anda dapat menghitung uang kembalian setelah
belanja dan orang tidak dapat menipu Anda. Begitu juga saat di jalan anda tidak
tahu arah. Kemudian ada petunjuk arah dengan tulisan arah kemana jalan menuju,
sehingga tidak tersesat. Dua contoh tersebut salah satu hasil dari pendidikan.
Pendidikan
SD baru pendidikan dasar dimana digunakan untuk keseharian kita dalam
masyarakat. Anda bayangkan bagaimana kalau tidak dapat menghitung, membaca dan
menulis. Untuk perkembangan daya pikir yang lebih baik maka dilanjutkan dengan
pendidikan SMP dan SMA.
Pendidikan
SD sampai SMA belum menyentuh daya pikir
luas. hanya sebatas pendidikan yang mempelajari dengan cara dituntun. Sehingga
dalam sosial-masyarakat lulusan 80%
sebatas pekerja yang diinstruksikan (disuruh-suruh). Jarang sekali ada yang
mandiri dalam daya pikir.
Hasil
Pendidikan Secara Individu
1.Tidak
Dibohongi Orang.
Hasil
dari pendidikan pertama adalah orang tersebut tidak bodoh, minimal dia tidak
dibohongi orang dengan mudah. Mengerti hal-hal yang bersifat adu-domba dan
hal-hal bodoh. Dalam ekonomi dapat mengatur keuangan rumah tangga. Walaupun
tidak begitu sempurnah karena sebab tergantung pada pola pemahaman dan tingkat
kecerdasan individu tersebut.
2.Tidak
Bersifat Anjing Gonggong.
Sifat
anjing gonggong adalah istilah yang berasal dari masyarakat Melayu Sekayu.
Sebagaimana kita tahu kalau kita melewati sebuah halam rumah orang yang
memelihara anjing biasanya si anjing menggongong atau menyalak orang yang lewat
atau apa saja yang melintas. Namun aslinya anjing tersebut bukan anjing yang
pemberani. Dia tampak berani karena di dekat rumah majikannya dan banyak juga temannya.
Di
tahun 1990-an sifat anjing gonggong
masih sangat marak di Indonesia. Dimana sering sekali terjadi perkelahian kelompok
anak-anak, atau sekelompok orang. Perkelahian masal atau individu dipicu karena
merasa jagoan di daerahnya, dikampungnya atau di gangnya. Kelompok ini sering
mencari gara-gara untuk berkelahi. Contoh, kalau ada orang yang baru tiba ke
daerahnya. Orang tersebut di ganggu dan memicu keributan.
Sekarang
sejak berkembangnya dunia pendidikan dimana pola-pikir yang terbuka dan dapat
menilai nilai-nilai perilaku cukup baik. Sifat anjing gonggong beransur-ansur
menghilang dan sudah jarang kita temui sekarang. Sifat tersebut diidap kelompok-kelompok
pemuda atau kaum laki-laki karena mereka bodoh dan tidak terdidik. Berkurangnya
sifat anjing gonggong membuat kehidupan masyarakat cukup tenang.
Selain
itu, sifat demikian juga berciri membenci orang diluar kelompok mereka, suka
kekerasan, bangga kejahatan, dan mudah diolok-olok. Hasil pendidikan telah
merubah polah pikir tersebut yang membentuk tatanan masyarakat yang luas.
3.Mudah
Memahami
Apa
yang dimaksud dengan mudah memahami?. Yaitu, apabila orang yang sudah
bersekolah mudah memahami maksud-maksud
dari bermasyarakat melalui interaksi sosial. Misalnya dia pergi ke rumah sakit,
dia tidak bingung dan tahu alur penjelasan petugas kesehatan di rumah sakit.
Dan disemua tempat, misalnya di terminal, di perbangkan, di pasar, atau
ditempat-tempat formal lainnya. Untuk yang hanya selesai sekolah SD dan SMP
saja kadang masih kesulitan dalam bersosialisasi secara administrasi.
4.Tidak
Bersifat Inverioritas
Inverioritas adalah paham pemikiran bahwa dirinya tidak ada apa-apanya. Selalu merasa lemah dan tidak mampu dalam segala bidang. Punya pemikiran tapi tidak mampu menjelaskan karena merasa tidak sesuai dengan keadaan dirinya. Orang yang tidak berpendidikan dan yang memiliki pendidikan rendah akan mengidap penyakit inverioritas seperti ini.
Hasil
pendidikan Dalam Sosial Masyarakat
Pendidikan
memiliki peran dalam sosial masyarakat. Karena pendidikan ditujukan bukan hanya
sebatas pengembangan SDM individu. Tapi sekaligus untuk pengembangan kehidupan
sosial masyarakat secara menyeluruh. Karena kehidupan sebuah komunitas
masyarakat dibutuhkan kemampuan SDM yang memadai. Pemikiran orang yang sudah
mendapat pendidikan akan berubah menjadi lebih baik dan lebih panjang.
1.Tercipta
Masyarakat Maju.
Masyarakat yang maju dimana dapat beradaptasi dengan perkembangan dunia, baik dalam bidang hubungan sosial manusia dan perkembangan teknologi. Masyarakat yang terdidik dapat dengan muda beradaptasi. Misalnya dalam penggunaan teknologi keuangan, teknologi komunikasi, dan transportasi. Mengapa disebut demikian, karena satu orang (individu) adalah bagian dari masyarakat yang bersatu dengan individu lainnya maka jadilah masyarakat.
2.Pemikiran
Yang Terbuka.
Seorang
individu yang sudah menempuh Pendidikan Tinggi memiliki pemikiran terbuka,
lentur dan tidak kaku. Berbeda dengan yang masih pendidikan dari SD sampai SMA.
Tidak meributkan hal-hal yang tidak perlu. Apabila orang tersebut sudah
menempuh Pendidikan Tinggi masih dengan pola-pikir SMA kebawa. Maka pendidikan
Tingginya gagal atau tidak berhasil.
3. Dapat
Berpikir Logis
Untuk
dapat berpikir logis memang sulit, bahkan di negara kita yang sudah
menyelesaikan pendidikan sampai Strata Dua belum tentu dapat berpikir logis.
Sebab, orang yang dapat berpikir logis adalah orang-orang yang memiliki banyak
pengetahuan. Dari orang-orang berpikir logis ini dapat menuntun orang-orang
yang belum dapat berpikir logis. Kelompok terbanyak yang belum mampu berpikir
logis pendidikannya dari yang tidak sekolah sampai ke SMA-Sederajad. Contoh
berpikir logis adalah orang yang tidak percaya tahayul dan mengerti apa itu
tahayul.
4.Menyiapkan
Generasi Lebih Baik
Dalam
dunia pendidikan yang diselenggarakan Pemerintah atau Swasta dan Masyarakat.
Untuk mempersiapkan generasi yang lebih baik. Baik dalam segi moral, pola-pikir,
persiapan generasi pemimpin, regenerasi bidang tenaga kerja dan lainnya.
Kesejahteraan
seseorang bukan karena bersekolah dan kuliah. Bukan pula karena penghasilannya.
Tapi terletak pada pengelolaan keuangan. Baik keuangannya jangka pendek atau
jangka panjang. Kemampuan berpikir demikian karena hasil pendidikan sehingga
orang tersebut mampu berpikir panjang. Ketika dia tidak dapat mengelolah
keuangan dengan baik. Maka dia telah gagal dalam dunia pendidikannya.
Untuk
lapangan pekerjaan bukan beban dunia pendidikan (sekolah-Perguruan Tinggi).
Tapi beban Pemerintah dan beban masyarakat itu sendiri. Tidak boleh menganggap
dunia pendidikan gagal lantaran alumni menganggur. Sebab masyarakat dituntut
untuk kreatif dan tidak malas dalam menemukan ide-ide untuk lapangan
pekerjaannya. Walau pemerintah menciptakan iklim tapi kalau rakyatnya tidak
memiliki kompeten juga percuma.
Kalau
kita mau mengambil pelajaran dari negara maju, seperti Inggris dan Jepang.
Dimana banyak individu masyarakatnya memilki ide-ide ekonomi kreatif yang
kemudian tercipta lapangan pekerjaan. Hal demikian didorong oleh masyarakatnya
yang terdidik dan cerdas. Masyarakat Inggris dan Jepang gemar membaca yang
menjunjung tinggi pendidikan.
Maka
dari itu, dalam dunia pendidikan dari Sekolah Dasar sampai Perguruan Tinggi
bukan untuk mengkayakan seseorang dengan materi, tidak untuk bekerja di suatu
tempat setelah lulus. Tapi dalam dunia pendidikan hanya untuk mengembangkan
Sumber Daya Manusia (SDM). Setelah menempuh pendidikan diharapkan dengan ilmu
yang dia dapat orang tersebut dapat mencari peruntungan hidupnya sendiri.
Memulai berusaha, mengembangkan ide-ide. Kalau ada lowongan bekerja pada sebuah perusahaan atau pun
menjadi ASN. Dengan demikian, saat lulus tugas institusi pendidikan selesai,
tapi proses belajar alumni tetap berjalan terus.
Dari
sedikit penjelasan tersebut baru sedikit sekali hasil pendidikan yang
dijelaskan. misalnya mengenai penciptaan teknologi, penataan ekonomi, munculnya
orang-orang bijaksana yang membela keadilan dan menjadi pemimpin, hadirnya
orang-orang yang memiliki ide dan mengembangkan lapangan pekerjaan, para
pemikir kemanusiaan-lingkungan hidup dan lainnya. Hasil peradaban manusia sekarang berkah dari
pendidikan. Kalau kita (orang Indonesia) hanya menganggap hasil pendidikan
sebatas PNS, bekerja kantoran-upah kerja, gaya (memakai baju kemeja dan dasi).
Tentu hal tersebut sangat tidak sesuai dan tidak pantas (terlalu bodoh).
Ada lelucon yang mungkin benar “tidak perlu pintar dan berilmu, sebab bekerja hanya perlu uang pelicin, orang dalam, dan ijazah.”
Disusun. Tim
Apero Fublic.
Editor.
Selita, S.Pd.
Tatafoto.
Dadang Saputra.
Palembang,
13 Desember 2021.
Sy. Apero Fublic