Buletin Apero Fublic.- Revolusi Industri dan berkembangnya sistem sosial masyarakat dunia, yang diperlukan adalah mobilitas sosial yang teratur. Membuat pihak Kolonial Belanda dahulu terpaksa mendidik pribumi Indonesia untuk dimanfaatkan tenaganya. Belanda, yang negaranya hanya sebesar provinsi Lampung itu tentu sangat kekurangan tenaga kasar.
Dengan
demikian, mulai didirikanlah sekolah-sekolah Kolonial Belanda di Hindia Belanda (Indonesia), adalah untuk
mendidik sedikit masyarakat Indonesia zaman kolonial untuk memenuhi kebutuhan
tenaga kerja kasar mereka. Rencana demikian dibungkus dengan politik etis dan dikemas dengan istilah Politik Balas Budi.
Haji
Agus Salim, salah satu tokoh pergerakan kemerdekaan tidak pernah menyekolahkan
anak-anaknya zaman Kolonial Belanda. Dia mendidik sendiri anak-anaknya. Karena dia menyadari maksud-maksud tidak
baik Kolonial pada tujuan pendidikan mereka. Bukan hanya Haji Agus Salim yang
menyadari hal demikian. Tokoh lain, seperti Ki Hajar Dewantara, KH. Ahmad
Dahlan, dan Engku Safe’i di Kayu Tanam juga berpendirian demikian. Kiai Ahmad
Dahlan melawan dengan cara mendirikan Organisasi Muhamadiyah.
Pendidikan
yang diberikan oleh Pemerintahan Hindia Belanda hanya untuk mencetak
tenaga-tenaga yang diperlukan di Hindia Belanda masa itu. Karyawan rendah,
kasar, menengah, atas, hingga insinyur. Tentu kita semua tahu gelar presiden
pertama kita adalah seorang insinyur arsitektur, Ir. Soekarno. Karena Bung
Karno banyak belajar, suka berorganisasi dan banyak membaca sehingga dia
mengerti tentang bangsanya. Begitu juga dengan tokoh-tokoh bangsa yang lainnya.
Belanda
membutuhkan juru tulis, tukang ketik, tenaga birokrasi, pekerja kantor, perawat, dokter, guru, polisi, pegawai
pemerintah, dan lainnya. Tentu dalam pimpinan orang-orang Belanda. Begitu juga disektor swasta diperlukan
tenaga yang dapat bekerja mencatat, menghitung dan menulis, mandor perkebunan, dan teknis pabrik.
Sehingga semua yang selesai sekolah pada zaman kolonial dapat dipekerjakan di sektor-sektor
tersebut. Masyarakat kita terbentuk dua golongan, yang sekolah untuk
bekerja demikian, yang tidak sekolah untuk bertani, kuli, dan konsumen.
Kondisi pendidikan yang terus menunjang keperluan tenaga kasar berlanjut. Waktu demi waktu, sampai juga pada masa kemerdekaan bangsa kita, tahun 1945. Setelah kemerdekaan pada masa Orde Lama. Kebutuhan tenaga kerja kasar terus berlanjut seiring berkembangnya administrasi dan ekonomi negara Indonesia yang baru merdeka.
Masa-masa awal kemerdekaan pencarian tenaga kerja dan Pegawai
Pemerintah masih kesulitan walau hanya sekedar mencari orang yang dapat membaca dan
menulis saja. Sehingga masa-masa itu, orang-orang yang sudah sedikit berpendidikan
akan langsung mendapat pekerjaan dengan mudah. Misalnya lulus SD, SMP, SMA,
apalagi sudah menyelesaikan Perguruan Tinggi.
Masuk
dalam rezim Orde Baru dibawah Pemerintahan Otoriter Soeharto. Keperluan tenaga
kasar terus berlanjut, seiring bertumbuhnya administrasi pemerintah, berkembangnya
ekonomi, dan Pemekaran wilayah Pemerintahan Daerah. Sektor usaha Badan Usaha
Milik Negara, Badan Usaha Milik Daerah, sektor swasta terus bertumbuh. Sehingga
tenaga kerja terus diperlukan dan lulusan-lulusan SMA dan Perguruan Tinggi
diperlukan.
Dari masa Kolonial Belanda, Orde Lama, sampai akhir Orde Baru semua lulusan sekolah diserap dengan baik pada sektor Pemerintahan, BUMN-D, dan Swasta Nasional dan Daerah. Apabila masyarakat mengamati pendidikan di Indonesia dari generasi ke generasi, dari masa ke masa. Tentu pendidikan adalah untuk mencari kerja atau untuk bekerja. Sehingga pola demikian menjadi kebiasaan dan mulai terbentu tradisi.
Sampai sekarang orang Indonesia berpikir kalau pendidikan untuk mencari kerja atau untuk bekerja diperusahaan atau pemerintahan. Sebagaimana penilaian mereka dari zaman Penjajah Belanda dimana orang selesai sekolah bekerja di perusahaan orang Belanda dan pegawai Pemerintahan Kolonial Belanda. Begitu juga saat merdeka, polah terus berlanjut.
Kalau seorang sarjanah berusaha menjadi petani, wirausaha atau pedagang. Masyarakat beranggapan hal tersebut adalah kesalahan dan cenderung merendahkan mereka. Untuk apa kuliah, kalau tidak bekerja di kantor, pikiran masyarakat kita. Orang yang tidak bekerja di sebuah perusahaan, atau di pemerintahan dianggap tidak bekerja.
Sekarang, Era
Tahun 2000 Ke Atas
Pertumbuhan
penduduk terus meningkat dan lulusan SMA dan Perguruan Tinggi semakin banyak.
Sementara usia pensiun memakan waktu 30 puluh tahun untuk satu pekerjaan. 30
tahun berarti satu generasi. Sementara setiap tahun lulusan SMA dan Perguruan
Tinggi, dengan jumlah yang terus meningkat. Tentu lapangan pekerjaan semakin
sempit, baik dari sektor pemerintahan, BUMN-D dan swasta nasional. Sektor
pekerjaan sekarang hanya bergantung pada pensiunnya seorang tenaga kerja.
Dengan
demikian, pemikiran sekolah dan kuliah untuk mencari pekerjaan atau untuk
bekerja sudah saat kita tinggalkan. Tujuan sekolah adalah untuk kemanusiaan dan
memanusiakan manusia. Pendidikan agar manusia mengerti dimana perbuatan yang
benar dan perbuatan yang salah. Bagaimana berpikir baik dan berpikir panjang,
bagaimana mengolah keuangan, bagaimana kreatif membangun usaha dan membangun perusahaannya.
Ketika
kita sekolah atau kuliah hanya mengejar bagaimana lulus dan mendapatkan ijazah.
Lalu mengandalkan bagaimana bergantung pada pemerintah, BUMN-D dan swasta yang
sudah lama berdiri. Tentu kita sudah sangat keliru besar dan membawa negara
kita pada jurang kemiskinan. Mari kita belajar dan berusaha mencari
pengetahuan. Di dalam pengetahuan banyak ditemukan usaha-usaha. Dengan
berpengetahuan akan diperlukan oleh sektor usaha, atau menciptakan usaha.
Mari kita tinggalkan pemikiran “sekolah dan kulia untuk mencari kerja atau bekerja,” tapi mari sekolah dan kulia untuk kemanusiaan kita dan memanusiakan manusia. Dimana membangun pola pikir yang baik dan logis. Dengan cerdasnya diri kita, dan semua masyarakat cerdas akan membuat keberkahan hidup kita bersama-sama.
"Ungkapan Orang Yang Bermental Dijajah: Untuk Apa Sekolah atau Kuliah kalau tidak bekerja di kantoran?. Biasanya, kata-kata disambung lebih baik berkebun dan menikah. Karena hidup sekedar makan dan kawin, adalah hal yang diinginkan oleh penjajah dan orang asing agar mereka dapat menguasai kita.
Coba perhatikan foto buruh pengolah biji pala di atas. Begitulah mental Anda saat menganggap sekolah dan kulia hanya sekedar untuk bekerja atau mencari kerja.
Oleh. Joni
Apero
Editor.
Desti, S.Sos.
Tatafoto.
Dadang Saputra.
Palembang,
27 Maret 2021.
Sy. Apero Fublic