Atap
dibuat dari asbes dan kaca polos tiga mili untuk kacanya. Kemudian jadilah
perumahan yang dijual ke bank. Masyarakat yang kepepet akhirnya mengkredit
rumah tersebut dan berdiam di dalamnya. Lalu membayar sampai puluhan tahun,
dengan tujuh kali lipat harganya. Suatu ketika PBB pernah mengatakan kalau
perumahan rakyat Indonesia mirip kandang ternak babi. Tapi sekarang beruntung (2022)
sudah ada perubahan dalam cara membangun perumahan rakyat. Sehingga keadaan
menjadi sedikit lebih baik.
Setiap perumahan rakyat itu, dibuatlah parit seadanya sebagai pelengkap, tanpa memikirkan kepentingan drainase. Sehingga tidak tahu air hujan dan limba rumah tangga akan mengalir kemana. Parit atau selokan kemudian mengendap dan menggenanglah air hitam kotor. Sampah menumpuk karena tidak dapat hanyut. Dari parit itu, timbullah sarang jentik nyamuk yang tidak pernah kering. Maka muncullah bencana baru yaitu wabah dengan Demam Berdarah.
Dari tahun 1968
sampai 2009 menurut WHO (World Health
Organization) Indonesia negara tertinggi di Asia Tenggara dengan kasus DBD
tertinggi (buletin.kemenkes). Timbul kampanye 3M (Menutup, Menguras dan
Menimbun atau menghancurkan). Hal demikian sampai sekarang menjadi jurus
andalan pemerintah. Penyemprotan dengan asap, yang terkadang oknum petugas juga
meminta uang pada masyarakat. Masyarakat jadi malas, asap mengepul sementara
jentik nyamuk terus ada.
Hal demikian seharusnya tidak terjadi kalau pihak pengembang dan pemerintah melakukan perbuatan secara semestinya. Penataan lingkungan perumahan dapat menerapkan sistem punden berundak. Komplek tingkat pertamah lebih tinggi lokasinya dengan drainasenya. Dapat dengan menimbun lahan. Kemudian tingkat kedua lebih rendah dan dengan drainasenya. Kemudian tingkat ke tiga lebih rendah dengan drainasenya.
Dari pertama-sampai ke tiga drainase airnya akan
mengalir lancar. Bidang perumahan tingkat ke tiga juga harus lebih tinggi dari tanah dasar agar saluran
air mengalir lancar ke selokan induk. Demikian, aliran air dari tiga tingkatan komplek perumahan
mengalir deras, tidak mengendap. Pada tanah dasar, ujung drainase dibuatlah bak-bak penampungan penyuling air limbah rumah tangga. Kemudian barulah air dialirkan
ke sungai, kanal atau gorong-gorong. Sehingga limbah tidak mencemari
sungai-sungai lagi.
Permasalahan
kemudian muncul adalah sampah masyarakat. Masyarakat kota yang selalu sibuk
kemudian melempar sampah mereka ke sembarangan tempat. Misalnya ke pinggir
jalanan dan ke dalam sungai-sungai
sekitar. Menggununglah sampah yang tidak terkendali, lingkungan rusak dan
sungai mulai tertimbun. Pada masa berikutnya timbul banjir yang tidak
terkendali. Permasalahan sampah ini seharusnya tidak terjadi kalau pihak
pengembang membangun sebuah bank sampah dan bekerja sama dengan dinas terkait.
Bank sampah dikhususkan untuk perumahan masyarakat yang dia kembangkan.
Permasalahan
ketiga adalah tempat keramaian. Seharusnya dalam bidang komplek adanya bidang
usaha untuk tempat keramaian. Bangunan gedung serba guna, dimana masyarakat
dapat memanfaatkannya untuk tempat olah raga, kegiatan mereka dan hajatan,
tempat PEMILU. Yang paling sering kita temui, dimana masyarakat memotong jalan
untuk membangun tenda hajatan mereka. Gedung tersebut akan sangat berguna dan
menjadi pendapatan komplek mereka juga.
Tempat ibadah juga haruslah di perhatikan. Rumah ibadah dibangun atas dasar hukum sesuai ketentuan pemerintah dan memperhatikan masyarakat mayoritas. Pembangunan berasaskan musyawarah dan kebersamaan. Dengan mencakup unsur-unsur tersebut dapat memenuhi kesejahteraan masyarakat dalam masa yang akan datang. Menata lingkungan sosial masyarakat sekaligus memelihara alam kita.
Sangat sulit dalam hal ini. Namun semua dapat diusahakan agar kehidupan kita lebih baik. Bangsa maju, rakyat sejahtera dan lingkungan terjaga. Dengan demikian kita dapat menjadi manusia yang sebenarnya.
Disusun: Tim Apero Fublic
Editor.
Arip Muhtiar, S.Hum
Tatafoto.
Dadang Saputra
Palembang,
17 Juli 2022.
Sy. Apero Fublic
0 comments:
Posting Komentar